Jakarta, CNN Indonesia —
Tak lagi cuma dipandang, karya seni lukis kini bisa dikenakan. Jenama Djon & Rose mencoba menuangkan lukisan S. Sudjojono dalam koleksi busana siap pakai.
Tak banyak karya S. Sudjojono yang bisa dinikmati masyarakat umum. Lukisan fenomenal “Pertempuran Sultan Agung dan Jan Pieterzoon Coen” (1974) berada di Museum Sejarah Jakarta.
Ada pula lukisan yang tersimpan di Museum Seni Rupa dan Keramik. Namun, sebagian besar lainnya sudah di tangan kolektor dan tak lagi bisa diakses secara bebas.
S. Sudjojono Center (SSC), pusat data dan informasi S. Sudjojono dan penyanyi seriosa Rose Pandanwangi, mencoba ‘membumikan’ koleksi lukisan S. Sudjojono ke dalam koleksi busana. Koleksi yang awalnya hanya diperkenalkan secara terbatas di SSC dan gelaran tertentu, kini bisa diakses di Pendopo Alam Sutera, Tangerang.
Direktur Pendopo Tasya Widya Krisnadi berpendapat, upaya pelestarian budaya tak terbatas pada warisan adat saja, tetapi juga karya seni milik seniman terdahulu.
“Terlebih karya-karya sang maestro tidak hanya indah, tapi juga memiliki nilai historis yang merekam keadaan di masa lalu,” kata Tasya dalam sambutannya akhir pekan lalu.
Dari kemeja sampai kebaya
Koleksi di bawah jenama Djon & Rose ini pun dipamerkan dalam sebuah pertunjukan terbatas bertajuk “Jiwa Ketok” yang dalam bahasa Jawa berarti jiwa yang kelihatan.
Koleksi terdiri dari 12 look dengan siluet kebaya, kemeja, kaos, serta aksesori berupa tas. Yang membuatnya istimewa adalah potongan busana ini memakai motif lukisan S. Sudjojono.
Maya Sudjojono, putri bungsu S. Sudjojono-Rose Pandanwangi dan pendiri Djon & Rose berkata, lukisan yang dipilih adalah lukisan yang memiliki nilai sejarah.
Ada pun kebaya kutubaru dengan motif mawar merah diambil dari lukisan “1st Wedding Anniversary” (1960). Salah satu lukisan tertua S. Sudjojono, “Tjap Go Meh” (1940) dituangkan dalam siluet kebaya modern dan kemeja pria.
Jenama Djon & Rose menuangkan lukisan maestro S. Sudjojono dalam siluet kain, kebaya, kemeja, kaos dan aksesori. Koleksi ini dapat diperoleh di Pendopo Alam Sutera, Tangerang. (dok. Pendopo)
|
Lukisan “Gerak Baru” (1985) disematkan dalam selembar kain dan tas. Maya bercerita, lukisan ini adalah hadiah ulang tahunnya yang ke-17 dari sang ayah.
“Lukisan ini saya minta ke bapak buat kado sweet seventeen, judulnya “Gerak Baru”. [Kenapa Gerak Baru?] Bapak tuh heran, kok, anak sekarang gayanya [menari] kayak gitu? Mbok kayak bapak, nari Jawa,” kenang Maya dalam kesempatan serupa.
Kemudian yang tak kalah menarik adalah kaos yang disematkan lukisan “Tiga Wanita di Atas Bukit” (1966). Lukisan menampilkan Rose Pandanwangi yang mengenakan baju bodo. Jika diperhatikan, ada dua wanita lain bersama Rose dalam satu lukisan.
Alexandra Pandanwangi, putri sulung S. Sudjojono-Rose Pandanwangi bercerita, sosok wanita yang berdiri paling belakang adalah Sri Sara Wahidin, sulung dari pernikahan Rose Pandanwangi dan Yahya Sumabrata.
“Nah, kalau yang [wanita] satu lagi ini memang karakter yang dibuat mirip mama, tapi kalau mama digambarkan paling depan,” katanya.
Selain lukisan-lukisan ini, potongan koleksi lain mengambil motif lukisan “Seko” (1969), “Bunga Impian” (1969), “Pantai Sanur” (1972) dan “Pura Kembar” (1972).
Sebenarnya ,menyulap karya seni jadi sesuatu yang bisa dikenakan bukan lagi hal baru dalam dunia maestro seni rupa. Namun, keputusan untuk benar-benar menuangkannya secara utuh mungkin perlu dipertimbangkan lagi, terutama untuk siluet kaos.
Rasanya bakal lebih menyentuh kalangan muda ketika kaos dibuat lebih ‘playful‘ dan simpel. Kaos dibuat putih polos, misal, kemudian disematkan potongan ikon lukisan S. Sudjojono dan diberi ‘quotes‘ atau nukilan cerita di balik lukisannya.
Kaos-kaos seperti ini tentu lebih menarik minat dan mendekatkan sosok S. Sudjojono pada generasi muda dan mengabadikan karya sekaligus pemikiran Bapak Seni Rupa Modern Indonesia ini.
(asr/asr)
[Gambas:Video CNN]