Jakarta, CNN Indonesia —
Saat teman-teman sebaya sibuk menyambut hari bahagia pernikahannya, saya justru bergelut menyandang status janda. Duh.
Saya menjadi janda pada usia yang terbilang muda. Baru juga 30 tahun. Pernikahan pun baru seumur jagung, dua tahun.
Tapi apa daya, pernikahan tak bisa dipertahankan. Saya pasrah jika harus hidup menjanda.
“Gimana ini, bun? Baru 30 tahun tapi aku udah jadi janda,” ujar saya merengek pada ibu. Tentu, dibarengi dengan air mata yang menetes tak henti-henti.
Menjadi janda atau duda di zaman kiwari mungkin berbeda dengan dulu. Perceraian di zaman now jadi bentuk usaha seseorang dalam memperjuangkan haknya untuk bahagia. Perceraian kini tak melulu dianggap sebagai aib.
Tapi, lain cerita jika kamu menjanda saat usia masih terbilang muda. Orang-orang sebaya baru memulai rumah tangga, saya malah berpisah.
Apa lacur, perceraian praktis membuat saya menjadi makhluk anti-sosial. Saya mengurung diri, tak mau bertemu orang-orang selama beberapa bulan pertama setelah bercerai.
Bukan cuma karena meratapi ketidakhadiran seseorang yang dulunya penting. Tapi, saya juga takut kalau harus mendengar cerita-cerita bahagia teman yang baru saja menikah atau sedang mempersiapkan pernikahan.
Saya berusaha sebisa mungkin menghindari obrolan-obrolan intim tentang pernikahan. Rasanya ingin muntah.
Maklum, usia akhir 20-an atau awal 30-an biasanya jadi momen undangan pernikahan datang dari berbagai penjuru.
Ilustrasi pernikahan. (StockSnap/Pixabay)
|
Betul saja. Undangan demi undangan pun datang bertubi-tubi. Teman masa kecil, teman satu geng, dan banyak lagi. Saya kewalahan.
Suatu hari, saya pernah ikut membantu persiapan pernikahan seorang teman masa kecil. Pernikahan terjadi empat bulan pasca-perceraian.
Saya kebagian mengurus konsumsi. Pikir saya, kesibukan mengurus konsumsi bisa mengalihkan kebencian saya akan rona bahagia pernikahan.
Tapi nyatanya tidak. Melihat kedua mempelai yang tersenyum lebar di pelaminan, saya bergetar.
Jujur saja, saya minder. Teman-teman sebaya sedang ramai-ramai bergerak maju, kenapa saya malah bergerak mundur?
Segala emosi yang berkecamuk saya tahan dalam diam. Sepulang dari acara pernikahan, saya menangis sesenggukan.
Kali kedua, saya diminta menjadi bridesmaid dari seorang teman dekat. Ah, lagi-lagi pernikahan!
Dalam hati saya bertanya-tanya, mengapa harus saya yang diminta menjadi bridesmaid?
“Tapi, kalau kamu belum siap [melihat pernikahan] enggak apa-apa, kok, misal enggak bersedia jadi bridesmaid juga,” ujar si teman.
Mendengar kalimat itu, saya luluh. Saya paksakan saja diri ini hadir menjadi bridesmaid di pernikahan, sebuah institusi yang benar-benar sedang saya benci saat itu.
Ilustrasi perceraian. (Istockphoto/Ilya Burdun)
|
Tak pernah sekali pun terbayang di benak menjadi seorang janda, apalagi di usia yang baru genap 30 tahun. Malu rasanya.
Saya mungkin bukan satu-satunya perempuan yang menjanda di usia muda. Di luar sana, mungkin banyak ‘janda-janda muda’ lainnya.
Tapi, jujur saja, saya minder dibuatnya. Perceraian ini membuat saya sering membanding-bandingkan kehidupan saya dengan teman-teman sebaya. Di saat orang-orang baru memulai, saya malah berakhir.
Perceraian jadi satu-satunya jalan yang harus saya tempuh untuk berbahagia. Titik, tanpa koma.
Toh, kita semua berhak untuk memperjuangkan kebahagiaan masing-masing, bukan?
Dipikir-pikir lucu juga. Di antara teman-teman, boleh jadi saya menikah lebih awal. Eh, tapi pernikahan yang saya bangga-banggakan kala itu justru tak bisa bertahan lama. Saya mundur, mereka maju.
Kini, empat tahun berlalu, rasanya saya ingin tertawa mengingat perceraian itu.
Tak apa lah. Lagi pula, siapa tahu kalau ‘kemunduran’ yang saya alami justru jadi fase bagi saya untuk bergerak maju.
(tim/asr)
[Gambas:Video CNN]