Merawat Poros Otak-Usus Agar Lebih Bahagia

Merawat Poros Otak-Usus Agar Lebih Bahagia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia

Pernahkah Anda mulas sesaat sebelum naik ke panggung untuk memberikan sambutan? Atau perut bergejolak saat dihujani tumpukan tugas dengan tenggat waktu yang singkat? Ternyata, kondisi ini menggambarkan bahwa saluran pencernaan sangat sensitif terhadap pikiran.

Perubahan emosi seperti marah, cemas, sedih, dan gembira sering kali memicu berbagai gejala di saluran pencernaan. Begitu pun sebaliknya, saluran pencernaan yang bermasalah bisa mengirim sinyal ke otak dan mempengaruhi emosi kita.

Hubungan erat antara otak dan sistem pencernaan ini dikenal sebagai poros otak-usus (gut-brain axis).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Poros otak-usus ini telah dibuktikan dalam penelitian Departemen Kedokteran Psikosomatik di Kyushu University pada 2004. Tim peneliti menemukan, tikus bebas kuman (germ-free mice) cenderung lebih rentan terhadap stres dibandingkan tikus normal bebas patogen. Mereka juga menemukan bahwa komposisi mikrobiota yang seimbang di usus memiliki efek positif terhadap kesehatan pencernaan dan respons stres.

Mikrobiota usus merupakan ekosistem kompleks yang terdiri dari bakteri, virus, fungi, dan arkea.

Triliunan mikrobiota ini kemudian berinteraksi dengan sel imun dan sel epitel usus untuk membentuk sistem penghalang yang melindungi tubuh dari ancaman eksternal, seperti racun dan bakteri patogen.

Sementara itu, ketidakseimbangan mikrobiota atau yang dikenal sebagai disbiosis, menyebabkan peradangan usus, memicu kecemasan, depresi, dan gangguan memori.

Hubungan usus yang bisa memengaruhi mental juga terlihat dari temuan pada pasien dengan sindrom radang usus (inflammatory bowel syndrome). Pasien dengan penyakit tersebut sering kali memiliki risiko tinggi mengalami depresi dan kecemasan, yang diindikasikan oleh disbiosis.

Ketika seseorang sakit karena infeksi dan peradangan/inflamasi, suasana hati yang buruk sebenarnya membantu menghemat energi untuk proses penyembuhan. Namun, jika peradangan berlanjut tanpa penanganan yang tepat, hal ini dapat memicu depresi.

Gangguan kecemasan, depresi, dan gangguan memori adalah contoh gangguan mental yang sering dikaitkan dengan disbiosis usus.

Sebuah artikel ulasan saintifik oleh Xiong et al. (2023) telah merangkum hubungan antara mikrobiota usus dan gangguan mental dengan cukup komprehensif. Mereka menemukan bahwa pasien dengan gangguan kecemasan mengalami penurunan kekayaan dan keragaman mikrobiota usus.

Kondisi disbiosis juga diamati pada pasien dengan depresi, gangguan bipolar, gangguan spektrum autism, dan skizofrenia.

Ungkapan “you are what you eat” atau “tubuh anda adalah apa yang anda makan” sangat relevan saat membahas hubungan antara kesehatan pencernaan dan kesehatan mental. Apalagi masalah kesehatan mental telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan.

Menurut data World Health Organization, pada 2019, sekitar 970 juta orang di dunia menderita gangguan mental, setara dengan 1 dari 8 orang.

Membiasakan diri dengan pola makan bergizi, beragam, seimbang, dan aman dapat menjadi salah satu strategi kunci untuk mendukung kesehatan pencernaan dan mental.

Sebuah studi meta-analisis oleh Firth et al. (2019) yang melibatkan 45.826 responden menunjukkan intervensi diet sehat memiliki manfaat yang signifikan untuk kondisi depresi dan gangguan kecemasan, terutama pada wanita.

Diet atau pola makan sehat dicirikan oleh kombinasi pangan yang kaya akan vitamin, mineral, serat, asam lemak omega-3, asam amino esensial, dan berbagai komponen aktif lainnya seperti polifenol hingga probiotik.

Diet tersebut dapat mendukung terjaganya komposisi mikrobiota saluran pencernaan yang pada akhirnya dapat memodulasi respons stres dalam tubuh.

Kementerian Kesehatan RI sendiri telah memberikan panduan “Isi Piringku” yang popular dan mudah diikuti. Setiap kali makan, pastikan isi setengah piring dengan sayur dan buah, dan setengah lainnya dengan makanan pokok dan lauk pauk.

Untuk mendukung asupan asam lemak omega-3, berbagai jenis ikan laut seperti ikan kembung, salem, selar, hingga tongkol dapat menjadi lauk pilihan yang murah dan mudah didapat.

Ikan-ikan tersebut juga turut menyumbang asam amino esensial, zat besi, yodium, selenium, seng, vitamin A, D, B1, dan B2 yang baik bagi fungsi optimal tubuh.

Jangan lupa batasi konsumsi gula (maksimal 50 gram atau 4 sendok makan per hari), garam (maksimal 2000 mg atau 1 sendok teh per hari), dan lemak (maksimal 67 gram atau 5 sendok makan minyak per hari).

Ingat rumus mudahnya: G4 G1 L5.

Selain itu, konsumsi makanan fermentasi sebagai camilan atau bagian dari hidangan dapat memberikan probiotik dan prebiotik yang baik untuk kesehatan pencernaan. Kita juga patut bersyukur karena makanan Indonesia kaya akan rempah yang menyediakan komponen bioaktif untuk mendukung kesehatan saluran cerna.

Rempah seperti kunyit, cabai, jahe, dan andaliman memiliki manfaat luar biasa dalam menjaga keseimbangan mikrobiota usus dan mendukung kesehatan mental.

Pada akhirnya, kerjasama antar sektor sangat penting untuk memastikan kesehatan fisik dan mental bagi semua orang. Pemerintah harus memastikan semua orang memiliki akses ke makanan bergizi yang terjangkau, pendidikan berkualitas, dan fasilitas untuk menjalani gaya hidup sehat melalui kebijakan yang mendukung.

Untuk mengatasi gangguan mental yang kompleks, sistem kesehatan yang memadai perlu dibangun untuk mengurangi kesenjangan dalam pengobatan dan aksesnya bagi semua orang. Dukungan sosial juga penting bagi penderita gangguan mental, termasuk bantuan dalam mengembangkan dan mempertahankan hubungan pribadi, keluarga, dan sosial. Mereka juga mungkin memerlukan dukungan untuk program pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan partisipasi dalam aktivitas bermakna lainnya.

(vws)