Alasan Jumlah Perokok di Dunia Turun Tapi di Indonesia Meningkat

Daftar Isi



  • Penyebab jumlah perokok terus meningkat

Jakarta, CNN Indonesia

Indonesia menghadapi tantangan serius dalam mengendalikan jumlah perokok yang terus meningkat.

Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat jumlah perokok aktif yang diperkirakan mencapai 70 juta orang. Sebanyak 7,4 persen di antaranya merupakan perokok berusia 10-18 tahun.

“Kita dihadapkan dengan bahaya pertumbuhan perokok aktif di Indonesia, terutama pada anak remaja,” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Eva Susanti, Rabu (29/5), mengutip laman Sehat Negeriku.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Eva menyampaikan, pertumbuhan perokok aktif di Indonesia tak lepas dari industri produk tembakau yang gencar memasarkan produknya di tengah masyarakat.

Sementara pada waktu yang sama, penggunaan produk tembakau di dunia justru mengalami penurunan signifikan.

Berdasarkan data yang diterbitkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada sekitar 1,25 miliar orang perokok berusia 15 tahun ke atas pada tahun 2022. Angka ini turun dari 1,36 miliar pada tahun 2000.

Laporan yang sama juga memprediksi penggunaan tembakau akan terus menurun hingga mencapai sekitar 1,2 miliar orang pada tahun 2030.

Dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi Feni Fitriani Taufik mengatakan, banyak faktor yang memengaruhi perbedaan penggunaan produk tembakau di dunia dan Indonesia.

“Kenapa di Indonesia beda? Yang lain turun sedangkan Indonesia naik? Alasannya multifaktorial, banyak faktor yang memengaruhi,” ujar Feni dalam konferensi pers daring Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2024 yang digelar oleh Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Jumat (31/5).

Penyebab jumlah perokok terus meningkat




Ilustrasi. Ada beberapa faktor yang terus mendorong peningkatan jumlah perokok di Indonesia. (CNN Indonesia/ Adi Maulana)

Ada beberapa faktor yang terus mendorong peningkatan jumlah pengguna produk tembakau di Indonesia. Berikut di antaranya.

1. Lingkungan sosial

Feni mengungkapkan, tingginya jumlah perokok disebabkan oleh aktivitas merokok yang telah dianggap sebagai hal biasa di lingkungan sosial.

“Karena tingginya pengguna rokok, jadi bisa buat orang ingin mencoba. Anak-anak jadi ingin mencoba karena di sekitarnya merokok,” ungkap Feni.

Banyaknya perokok di sekitar anak dan remaja membuat perilaku merokok tampak normal dan dapat diterima, sehingga mendorong mereka untuk mencoba rokok.

2. Regulasi dan pengawasan yang kurang efektif

Feni menuturkan, regulasi iklan rokok di Indonesia masih kurang ketat jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Data menunjukkan bahwa sekitar 70 persen anak-anak di Indonesia mendapatkan gambaran tentang rokok dari iklan. Hal ini secara signifikan memengaruhi keinginan mereka untuk mencoba rokok.

Meski sudah ada aturan mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR), implementasi dan pengawasannya dinilai Feni masih lemah.

“Sebenarnya regulasi di Indonesia enggak tanggung-tanggung, tapi pengawasannya belum konsisten,” tuturnya.

3. Harga rokok yang murah

Feni menekankan bahwa harga rokok di Indonesia jauh lebih murah dibandingkan negara lain. Hal ini membuat rokok mudah dijangkau oleh semua kalangan, termasuk anak-anak dan remaja.

“Harga rokok di kita sangat murah dibandingkan negara lain. Jadi bisa dengan beli ketengan dengan uang jajan,” ungkapnya.

Harga rokok yang rendah di Indonesia membuat upaya pengendalian konsumsi rokok menjadi lebih sulit dibandingkan negara lainnya.

4. Normalisasi kebiasaan merokok

Pada kesempatan yang sama,dokter pesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi paru Profesor Tjandra Yoga Aditama menambahkan bahwa normalisasi kebiasaan merokok di masyarakat Indonesia juga berkontribusi pada peningkatan jumlah perokok.

Meski sekarang sudah ada peraturan yang melarang merokok di tempat-tempat umum, kebiasaan merokok masih dianggap normal di banyak tempat.

Menurut Tjandra, upaya untuk ‘denormalisasi’ atau mengubah persepsi bahwa merokok adalah kebiasaan normal sangat penting dalam mengurangi jumlah perokok.

“Satu kata menarik ‘denormalisasi’. Kebiasaan merokok ini bisa jadi kebiasaan normal. Jadi, ini yang harus diubah menurut saya,” tutup Tjandra.

(sya/asr)