Dengan mi instan, perut bisa langsung puas dan kenyang dalam waktu lima menit. Konon, Gen Z juga begitu: maunya yang serba instan.
Pemalas, mau serba instan, terlalu ambisius, dan masih banyak lagi citra populer yang kerap disematkan pada mereka. Di tengah kehidupan yang kian edan ini, Gen Z harus menghadapi berbagai tuduhan.
Content creator Kahla Khamisa (22) tak memungkiri ia dan teman-teman satu generasinya hidup di dunia yang serba instan.
“Kita [Gen Z] benar-benar sudah sangat terbiasa dengan dunia yang digital. Yang paling aku rasain, sih, sebetulnya kita, tuh, jadi terbiasa banget instan, ya,” tutur Kahla saat berbincang dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Ibarat mi instan, Gen Z menyukai hal-hal yang sifatnya ringkas tanpa perlu upaya keras. Hal ini juga yang membikin Gen Z sering jadi bahan olok-olok generasi sebelumnya.
Di media sosial misalnya, berbagai olok-olok yang dilontarkan untuk Gen Z bertebaran begitu saja. Beberapa akun bahkan secara khusus mengomentari kelakuan-kelakuan Gen Z.
Tapi, Kahla tak menyangkal. Ia membenarkan sederet tuduhan yang diberikan pada generasinya.
Bagi Kahla, media sosial jadi faktor utama yang paling berkontribusi terhadap fenomena ini. Kurangnya komunikasi dengan dunia nyata juga dinilai memperburuk stigma yang diberikan pada Gen Z.
“Perasaan itu [ingin serba instan] muncul karena aku melihat apa yang aku dapat dari media sosial, ya,” aku Kahla.
Gen Z atau yang juga dikenal dengan sebutan zoomer kini tengah jadi topik hangat di tengah masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mengklasifikasikan Gen Z sebagai mereka yang lahir pada rentang tahun 1997-2012.
Berdasarkan data Statistik Indonesia 2024, populasi Gen Z atau mereka yang berusia 15-24 tahun mencapai lebih dari 44 juta penduduk.
Ilustrasi. Gen Z juga kerap dijuluki sebagai generasi digital native. (iStockphoto/Alessandro Biascioli)
|
Generasi ini dijuluki sebagai ‘digital native‘ atau orang-orang yang tumbuh bersamaan dengan reformasi digital. Mereka umumnya terbiasa dengan berbagai kemudahan akses sejak kecil.
Psikolog dari Universitas Padjadjaran Zahrotur Rusyda Hinduan tak menampik tuduhan-tuduhan negatif yang diberikan pada Gen Z. Hal ini, lanjut dia, terjadi karena kemudahan teknologi yang telah dialami mereka sejak kecil.
“Generasi Z itu significant life event-nya apa saja? Ada perkembangan teknologi. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa technology advancement itu memang memengaruhi significant life event buat mereka [Gen Z],” ujar Zahrotur saat dihubungi CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Ada sebuah proses yang dilalui oleh generasi sebelumnya, tapi tidak dilalui oleh Gen Z.
“Jadi, memang terbiasa seperti itu, ya, instan gitu,” tambahnya.
Tak cuma soal yang instan-instan, hidup di tengah perkembangan teknologi yang membabi buta juga bikin Gen Z cenderung memiliki attention span yang lebih pendek. Hal ini, lanjut Zahrotur, membuat mereka kesulitan untuk fokus pada satu hal dalam waktu yang lama.
Contohnya, Gen Z yang mudah berpindah-pindah tempat kerja. Hal ini jelas berbeda dengan generasi sebelumnya yang umumnya memiliki loyalitas tinggi saat bicara soal dunia profesional.
“Generasi Z itu lebih realistis kan? Ngapain saya, misalnya, harus kerja terus di tempat yang sama gitu, ketika memang di tempat lain ada gaji yang lebih tinggi? Nah, itu ya, jadi jauh lebih realistis gitu,” tambah Zahrotur.
Meski terkesan mudah bosan dan menclak-menclok, tapi menurut Zahrotur, kondisi ini justru mendorong Gen Z jadi lebih fleksibel dan terbuka terhadap banyak peluang baru.
Dinilai lemah mental
Ilustrasi. Gen Z juga kerap dinilai sebagai generasi lemah mental. (Istockphoto/skynesher)
|
Tak cuma dinilai sebagai generasi serba instan, Gen Z juga kerap dianggap sebagai kelompok lemah mental dengan etos kerja yang rendah.
Bukan tanpa alasan, Zahrotur mengatakan, hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya latihan dalam menyelesaikan masalah secara mandiri.
Gen Z, lanjut Zahrotur, cenderung mengandalkan otoritasnya dalam bentuk kemudahan teknologi dan peran bantuan orang tua untuk menyelesaikan masalah.
“Sehingga [Gen Z] kurang terlatih dalam mengatasi tantangan secara mandiri,” ujar Zahrotur.
Padahal, pengalaman menyelesaikan masalah merupakan privilege untuk mengembangkan kemampuan bertahan hidup dan memecahkan masalah. Hal ini-lah yang tidak dimiliki Gen Z.
Belum lagi peran orang tua yang seolah selalu memanjakan anak. Kini, Zahrotur melihat banyak orang tua mengambil alih tugas-tugas sulit dari buah hatinya.
Zahrotur memberikan contoh sederhana lewat pembayaran listrik. Di masa lalu, seseorang harus datang langsung ke lokasi dan berinteraksi dengan orang lain. Hal ini membuat seseorang belajar cara menghadapi masalah yang mungkin datang.
Tapi kini, banyak tugas tersebut dapat diselesaikan secara daring, ditambah bantuan orang tua. Hal ini, menurut Zahrotur, mengurangi kesempatan bagi Gen Z untuk belajar keterampilan hidup yang penting melalui pengalaman langsung.
Tuntutan dari lingkungan yang tinggi juga dinilai memengaruhi karakter Gen Z di zaman kiwari.
Banyak dari Gen Z yang merasa tertekan untuk mencapai kesuksesan dalam usia yang relatif muda. Padahal, kondisi ekonomi jelas-jelas semakin sulit.
“Jadi memang kondisi sekarang yang tadi, serba cepat, kemudian juga dengan kondisi ekonomi yang makin mahal dan lain sebagainya ya, memang [membuat] tuntutan kepada generasi Z itu lebih tinggi tampaknya ya,” tuturnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya..