Melawat ke Rumah Kelahiran Buya Hamka di Tepi Danau Maninjau

Jakarta, CNN Indonesia

Danau Maninjau di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, membuat kami terpukau dengan pesona alamnya dalam perjalanan Jelajah Jalur Sumatera 2024. Namun, bukan hanya alamnya, Danau Maninjau juga menjadi saksi bisu kelahiran tokoh-tokoh besar tanah air.

Ada tiga Pahlawan Nasional yang lahir dan berasal dari Danau Maninjau di antaranya Buya Hamka, Rasuna Said, dan Muhammad Natsir. Tapi, dari tiga nama itu, kami baru menemukan rumah kelahiran Buya Hamka, yang terletak di pinggir jalan tepian Danau Maninjau.

Saat tiba di lokasi, kami kagum melihat tempatnya yang begitu rapi, bersih, terawat, dan juga informatif. Rumah kelahiran Buya Hamka itu telah menjadi museum, yang dinamai Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka. Tepatnya di Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Buya Hamka dikenal ulama sekaligus filsuf yang memiliki nama besar. Karya-karya Buya Hamka masih banyak dikenal, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di luar negeri. Buya Hamka sendiri lahir di sini, tepatnya 17 Februari 1908, sebelum meninggal di Jakarta pada 1981 tanggal 24 Juli dalam usia 73 tahun.

Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka mulai dibangun pada Februari 2000, dan dibuka sekaligus diresmikan pada November 2001. Jejak sejarah kehidupan Buya Hamka terukir jelas dalam setiap benda yang berada di museum ini.

Dari mulai tongkat yang ikonik, mesin tik, jubah, buku dengan tulisan tangan Buya Hamka, foto-foto, hingga pakaian-pakaian milik Buya Hamka di masa lalu. Yang paling menarik minat kami adalah tongkat-tongkat Buya Hamka.

Sejak dulu, Buya Hamka dikenal sebagai sosok yang ke mana-mana selalu membawa tongkat. Bahkan, kebiasaan itu sudah dilakukan sejak dia masih remaja. Ada 10 tongkat Buya Hamka yang dipajang di museum ini.

CNNIndonesia.com bertemu langsung dengan putra bungsu Buya Hamka, Amir Syakib, yang menemani kami menelusuri Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka, sambil bercerita tentang masa kecilnya bersama sang ayah.

“Ini (tongkat) harusnya ada 30 puluh nih. Ini yang kita bawa cuma 10. Yang pegang kan anak anak, cucu-cucunya sekarang. Jadi kita minta juga, tapi pada enggak mau kasih, mereka mau simpan kenang-kenangan kakeknya,” ungkap Syakib kepada CNNIndonesia.com.

[Gambas:Youtube]

Menurut Syakib, sejak remaja Buya Hamka sudah pakai tongkat. Kebiasaan itu karena dia harus ke mana-mana dengan berjalan kaki. Dia mengisahkan, Buya Hamka pernah memiliki tongkat dengan pedang di dalamnya.

“Ke mana-mana jalan kaki, jalanan kan enggak ada, karena baru ada saat dibuat Belanda. Jadi, ada napak tilas selama perjalanannya dengan teman-temannya ke Bukittinggi, yang mau tak mau membuat Buya harus pakai tongkat, di mana di dalam tongkat itu ada pedangnya. Karena masuk keluar hutan kan ketemu ular atau babi dan jalan kaki dua hari dua malam sampai Bukittinggi,” ujarnya.